Begini Rasanya Kesepian di Usia yang Masih Muda

Oleh: Sandyakala Senandika
Artikel asli dari : Begini Rasanya Kesepian di Usia yang Masih Muda

Di umurku yang masih di angka 20-an, kesepian adalah pil pahit yang harus kutelan setiap hari. Bukannya aku tak punya teman. Temanku banyak. Tetapi, fase kehidupan yang telah berubah turut mempengaruhi aspek relasiku dengan teman-temanku.

Izinkan kuceritakan sekelumit kisahku. Sebenarnya, kesepian bukanlah hal baru di hidupku. Aku lahir di luar pernikahan yang sah. Bisa dibilang, ayah ibuku tidak secara intensional menginginkan kelahiranku. Saat tumbuh dewasa pun lingkunganku tidak suportif. Orang tuaku bertengkar setiap hari hingga akhirnya berpisah rumah. Sebagai anak bungsu dengan tiga kakak tiri, relasiku pun tidak terlalu dekat dengan mereka, menjadikanku tidak banyak bicara di rumah. Hingga akhirnya saat aku lulus sekolah, aku memutuskan merantau sampai hari ini.

Saat kuceritakan keluhan ini ke teman-teman kantor, gereja, atau sahabatku sejak zaman bocah, respons mereka kurang lebih sama.

“Makanya, udah deh sekarang cepetan cari pacar…”
“Masa sih se-kesepian itu lu? IG lu aktif banget loh…”
“Ah, kamu mah pasti bisa hadepin ini. Kan kamu suka petualangan. Keluyuran sendiri juga fine kan?”

Tidak ada yang salah dengan semua respons itu. Benar aku perlu mendoakan dan mencari pasangan hidup. Benar pula aku aktif di media sosial, juga aku rutin melakukan perjalanan ke alam dan ikut beragam komunitas.

Namun, kesepian adalah sebuah perasaan yang seringkali hadirnya tidak dipengaruhi oleh keadaan luar. Aku sadar, setelah lulus kuliah, aku tak lagi bisa sebebas dulu. Teman-temanku pun sama. Kami punya kesibukan masing-masing yang membuat perjumpaan fisik semakin susah. Semua ini tidak bisa dielakkan. Jadi, meskipun aku bisa saja menjumpai temanku, tapi perjumpaan itu tidak bisa lama dan rutin. Semakin terobsesi mencari teman justru membuat rasa sepi semakin nyata… dan diliputi banyak teman pun bukan jaminan rasa kesepian itu akan lenyap. Les Carter berkata: “Kesepian adalah perasaan terpisah, terisolasi, atau berjarak dari relasi antar manusia. Kesepian adalah luka emosional, perasaan kosong, dan hasrat untuk dimengerti dan diterima oleh seseorang.” Kamu bisa tetap merasa sepi meskipun ada di tengah-tengah kerumunan yang seru.

Kesepian, masa muda, dan kata Alkitab

Studi yang dilakukan oleh BBC Loneliness Experiment di Inggris Raya menunjukkan fakta mencengangkan. Jika biasanya kesepian sering diidentikkan kepada warga lansia yang sudah tak bisa melakukan banyak hal, temuan riset ini malah memaparkan bahwa 40% responden yang mengaku kesepian ada di kelompok usia 16-24 tahun. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang para lansia yang ada di angka 27%.

Fakta ini begitu kontras. Bagaimana bisa seorang muda dengan akses koneksi Internet, keluwesan berjejaring secara daring, bisa merasa sepi?

Meskipun masa muda memang adalah waktu penuh kebebasan dan petualangan, tak dipungkiri banyak transisi terjadi di masa ini. Merantau, memulai kuliah, meraih pekerjaan baru, akan mencabut kita dari pertemanan yang dibangun selama masa-masa kita tumbuh besar.

Teman yang kita temukan pasca usia 25 akan berbeda taraf keakrabannya dengan mereka yang kita jumpai di dekade sebelumnya. Alasannya simpel: dengan teman lama kita melewati proses pertumbuhan dan banyak fase transisi—dari sekolah ke kuliah, remaja ke dewasa. Sedangkan pada teman yang kita jumpai di usia dewasa, tak banyak waktu dan proses yang kita lewati bersama. Umumnya kesempatan bersama itu sekadar hang-out atau urusan kerja saja sehingga ikatan emosional yang terbentuk tidak begitu kuat.

Jika kita membuka Alkitab, kita pun akan disuguhi oleh kisah tentang orang pilihan Tuhan yang mengalami kesepian. Ini membuktikan kesepian adalah perasaan manusiawi yang dialami oleh siapapun, bahkan nabi sekalipun.

Yeremia dalam Perjanjian Lama dipanggil Allah untuk menjalani panggilan yang berat—mewartakan firman Allah kepada bangsa yang bebal dan menyimpang. Kabar yang dibawa Yeremia pun bukanlah kabar gembira, melainkan kabar penghakiman bahwa jika tidak ada pertobatan yang sungguh-sungguh, murka Allah akan datang. Maka, jelaslah bahwa Yeremia akan dibenci oleh bangsanya sendiri. Yeremia pun meratap, “Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau melahirkan aku, seorang yang menjadi buah perbantahan dan buah percederaan bagi seluruh negeri” (Yer 15:10). Dalam kesukarannya itu, Allah pun melarangnya dari menikah dan memiliki keturunan (Yer 16:2). Dapat kita bayangkan akan beratnya pergumulan seorang Yeremia. Sendirian, pun dibenci oleh bangsanya sendiri.

Yeremia merupakan salah satu nabi yang tidak cuma menyampaikan nubuatannya, tapi juga mengalami itu. Pada tahun 586SM Yeremia masih hidup dan menyaksikan bagaimana Babel menyerbu Yehuda, menghancurkan Yerusalem dan Bait Suci. Hukuman Tuhan berupa pembuangan Israel ke Babel pun tergenapi.

Menghadapi tugas berat itu, Yeremia sendiri sebenarnya bukanlah orang pemberani. Dia takut dan ada kalanya dia meragukan Allah. “Mengapa penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai” (Yer 15:18), tetapi Allah berjanji menyertainya (ayat 20).

Sisi yang menarik dari kisah Yeremia ialah: dalam kesepiannya, dia mengutarakan segenap perasaannya pada Allah. Apa yang dia luapkan merupakan perasaan campur aduk. Satu sisi dia mengeluh, tapi dia tidak melupakan kebaikan Allah, lalu meratap lagi. Hingga akhirnya Yeremia tuntas menunaikan tugas panggilannya, semua itu karena dia selalu kembali pada Allah dan mengingat janji-Nya (Yer 32:17).

Kisah kesepian yang aku, mungkin juga kamu alami pastilah berbeda dengan jenis kesepian nabi Yeremia karena dimusuhi oleh seisi bangsa. Tetapi, kita bisa meraih banyak pelajaran dari perjalanan Yeremia. Betul, dia merasa kesepian, tetapi dia tidak pernah kehilangan sosok teman sejati, yakni Allah sendiri. Yeremia mampu, hidup, bertahan, dan bertumbuh karena Allah hadir bersamanya. Dalam Yeremia 15:19 terselip pesan bagi setiap kita yang merasa kesepian, tidak berguna, atau surut imannya, sebab di sana Allah sedang memberi tahu Yeremia untuk kembali pada-Nya karena Dialah yang akan memulihkan sukacita keselamatannya.

Kesepian memang tidak terelakkan karena kejatuhan manusia dalam dosa menghancurkan persekutuan kita dengan Allah. Namun, kabar baiknya adalah Allah tidak membiarkan keterpisahan itu. Dia hadir dalam rupa Kristus untuk memulihkan kembali relasi yang hilang dengan anak-anak-Nya.

Selagi kita masih hidup dalam tubuh fana ini, kita tak bisa seratus persen tak pernah merasa sepi. Namun, janji dan kebenaran firman Tuhan menguatkan kita dan memampukan kita untuk menghidupi hari-hari yang sepi dengan cara-cara kreatif. Bukan dalam kemurungan dan semakin mengisolasi diri, tetapi dengan semangat baru bahwa kita disertai Allah dan ke dalam dunia inilah kita diutus (Yoh 17:18).

Sepanjang tahun ini aku telah belajar untuk hidup berdampingan dengan rasa sepiku, sebab kutahu dalam hidup manusia di dunia, kesepian adalah buah dari kejatuhan manusia yang tetap harus kita tanggung dan dalam upaya kita menanggung itu, ada jaminan bahwa Allah senantiasa melindungi kita (Yoh 17:15). Namun, ini tidak berarti kita membiarkan diri saja dalam kesepian. Sebagai ciptaan yang dikarunia hikmat, kita bisa mengubah kesepian ataupun perasaan negatif lainnya menjadi tindakan-tindakan aktif yang bisa mendatangkan hasil positif baik bagi diri kita sendiri, maupun lingkungan di sekitar kita.

Ketika rasa kesepian itu datang, aku menuliskannya dalam jurnal doaku dan mencari cara-cara kreatif untuk melalui hari-hariku setelahnya. Aku mulai bergabung dengan komunitas gereja lokal dekat tempat kerjaku, menginisiasi akun YouTube yang mendokumentasikan perjalanan-perjalanan rutinku, juga mengontak kembali teman-teman lama yang dahulu pernah akrab. Semua cara ini kendati tidak seratus persen mengeyahkan rasa sepi, berhasil menolongku melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda: dalam kesendirianku, aku tidak pernah sendirian.