Splash Screen

Jalan Panjang Merawat Injil

Ketika Joseph Kam berlabuh pertama kali di Ambon pada Maret 1815, dia pikir dia akan berkarya menginjili orang-orang bukan Kristen. Namun, setibanya di sana, Joseph melihat urgensi lain untuk dia lakukan. Alih-alih mencari petobat baru, Kam disodorkan fakta bahwa orang-orang Kristen di sini ibarat anak terlantar, tak ada yang mengasuh spiritualitas mereka. Gereja memang telah ada dan berdiri, tetapi tak semua orang menerima dan mengenal Kristus secara pribadi.

Nyaris tiga abad sebelum kedatangan pendeta Kam, Kepulauan Maluku telah mendengar berita Injil yang dibawa oleh orang-orang Portugis, namun seiring waktu dan perubahan politik, kepulauan ini ditinggal pergi para rohaniawannya. Selama tahun-tahunnya di Maluku, Kam mendedikasikan hidupnya untuk memelihara iman jemaat. Dia berkhotbah, membuka sekolah, berkeliling dari pulau ke pulau. Atas karya-karyanya, orang-orang Maluku di masa kini menjuluki Kam sebagai “rasul dari Maluku.”

***

Sepenggal kisah Joseph Kam itulah yang saya dengar ketika kendaraan yang saya tumpangi melewati sebuah gereja besar di tengah kota Ambon, sebuah kota dan pulau yang baru pertama kali kami sambangi.

“Di sini, di dalam gereja ini ada makamnya Kam,” tutur pendeta Kornell yang menemani kami . “Mau masuk?” tanyanya.

Tapi, langit Ambon sepanjang hari tidak bersahabat. Jika di Indonesia bagian barat sudah masuk kemarau panjang, cuaca di Ambon sangat basah karena terpengaruh oleh kondisi angin badai di utara Australia.

Niatan untuk masuk ke dalam kompleks gereja pun kami urungkan. Namun, diskusi seputar kekristenan di kepulauan rempah ini terus berlanjut. Sepeninggal Kam, pekerjaan misi di Maluku tidak berhenti. Pada era modern, Maluku secara demografi adalah provinsi yang dihuni oleh cukup banyak orang Kristen, bahkan tak jarang kami mendengar dalam banyak diskusi seputar demografi bahwa Maluku disebut sebagai ‘kantong Kristen’ pada sebuah negeri di mana kekristenan sejatinya adalah minoritas. Pada sensus tahun 2021, tercatat 46% dari total populasi mengidentifikasi diri sebagai Kristen.

Selama hari-hari saya di Maluku, “kuatnya” tradisi Kristen memang begitu kental. Gereja-gereja di kota menggunakan pengeras suara ke luar gedung untuk memutar puji-pujian, sesuatu yang tak relate dengan saya yang sehari-harinya tinggal di Jawa. Bahkan saat berada di Pulau Seram, gereja yang dekat dengan rumah tempat kami bermalam sudah memutar lagu-lagu sedari langit masih gelap. Namun, saat kami pergi semakin jauh dari ibukota kabupaten atau kecamatan, menyeberangi lautan dan menembus belantara, di sinilah saya menemukan realita lain dari kekristenan yang telah lebih dari lima abad mengakar di Maluku.

Dari Ambon kami bertolak menuju desa terisolir di tengah pegunungan yang bernama Negeri Manusa. Tidak mudah mencapai destinasi ini. Pertama, dari dermaga Liang di pesisir utara pulau Ambon kami menaiki ferry menuju pelabuhan Waipirit di Pulau Seram. Kedua, perjalanan harus dilanjutkan dengan pecah tim. Saya dan pendeta Bungaran menaiki sepeda motor, sedangkan tim lain beserta barang-barang diangkut menggunakan mobil off-road. Manusa terisolir di balik pegunungan, akses satu-satunya hanyalah melewati jalan berlumpur di tengah belantara. Waktu tempuh sekali jalannya pun tak bisa dibilang singkat: 5 jam!

Dengan segala kemudahan hidup di kota, perjalanan ke Manusa sejujurnya membangkitkan rasa takut— lumpur ganti jalan aspal, balok kayu ganti jembatan beton. Bagaimana jika motor oleng lalu nyungsep? Dokter Susi yang ikut serta dalam perjalanan kami bilang kalau rumah sakit untuk mengurus patah tulang hanya ada di Ambon! Hati saya membatin. Repot dan menyakitkan apabila kami kecelakaan, harus menyeberang laut dulu dengan kondisi merintih sampai bisa ditangani. Tapi syukurlah, dengan pertolongan Tuhan dan kepiawaian para warga lokal menguasai medan, segala hal buruk yang muncul di benak tidak terwujud.

Kondisi jalan satu-satunya dari pesisir menuju Desa Manusa. Tak ada aspal, hanyalah jalan berlumpur.
Kondisi jalan satu-satunya dari pesisir menuju Desa Manusa. Tak ada aspal, hanyalah jalan berlumpur.
Pendeta Bungaran dari Tim Project Terang menaiki motor dengan dibonceng oleh warga jemaat dari Manusa.
Pendeta Bungaran dari Tim Project Terang menaiki motor dengan dibonceng oleh warga jemaat dari Manusa.

Ada yang menarik dari demografi di Maluku. Karena ini adalah kepulauan, konsentrasi masyarakat seperti kota kecamatan dan pusat ekonomi terfokus di pesisir. Namun, dengan majunya zaman dan adanya migrasi, area tepian laut lebih banyak dihuni oleh orang-orang dari daerah lain yang menetap, bertani, ataupun membuka aneka usaha. Pada daerah yang lebih berbukit, masuk ke tengah pulau, di sinilah orang-orang lokal yang ber-ras Melanesia, orang-orang Kristen, tinggal menetap.

Manusa dihuni oleh lebih dari 800 jiwa dan semuanya mengakui diri sebagai orang Kristen. Terdapat satu gereja dengan gedungnya yang besar berdiri di tengah-tengah permukiman. Namun, tak setiap hari pendeta atau rohaniawan tinggal di sini. Secara akses infrastruktur pun tak bisa kita anggap lengkap. Selain akses jalannya yang sulit dan terisolir, tiang-tiang listrik memang telah dibangun oleh pemerintah, tetapi arus listriknya belum mengalir. Untuk kebutuhan ibadah atau lainnya yang memerlukan listrik, warga desa memanfaatkan tenaga genset yang dipusatkan di gereja. Sinyal ponsel? Ini pun sesuatu yang langka.

Bersama dengan kami, turut serta pula Pendeta John yang melayani jemaat Manusa. Ketika kami tampak kesusahan dan kelelahan melibas perjalanan jauh ini, beliau tampak santai-santai saja.

“Saya tiap minggu begini, naik motor,” dia bercerita sambil tertawa kecil. “Awal-awal pelayanan dulu malah sudah sering jatuh dari motor di jalanan ini,” sambungnya.

Setelah kami tiba dan meluruskan badan sejenak, pengeras suara dari menara gereja yang ditenagai genset pun berbunyi, memanggil-manggil seluruh warga desa untuk segera berkumpul. Dalam lima belas menit, bangku-bangku terisi. Pendeta John memperkenalkan kami pada jemaat dan menjelaskan tentang pelayanan misi Project Terang sebagai upaya untuk memperlengkapi mereka dengan terang, baik itu terang jasmani yang hadir dari lampu tenaga surya, juga terang rohani yang hadir dari firman Allah.

Anak-anak Manusa. Saat siang hari mereka bermain bola pada lapangan luas yang terletak di tengah desa.
Anak-anak Manusa. Saat siang hari mereka bermain bola pada lapangan luas yang terletak di tengah desa.
Keluarga-keluarga di Manusa penerima Paket Terang yang diwakili oleh anak-anaknya.
Keluarga-keluarga di Manusa penerima Paket Terang yang diwakili oleh anak-anaknya.
Seorang kepala keluarga di Manusa yang menerima Paket Terang.
Seorang kepala keluarga di Manusa yang menerima Paket Terang.
Mama Sintje, salah satu warga jemaat Manusa berdiskusi dengan tim Project Terang di rumahnya yang beralaskan tanah.
Mama Sintje, salah satu warga jemaat Manusa berdiskusi dengan tim Project Terang di rumahnya yang beralaskan tanah.

Lain Manusa, lain pula Pulau Buru. Dari Pulau Seram, kami kembali mengarungi lautan dengan durasi yang lebih panjang dan melelahkan. Untuk menuju Pulau Buru, akses satu-satunya yang pasti berangkat hanyalah dengan menaiki kapal laut dari pelabuhan Galala, Ambon selama 12 jam perjalanan. Itu pun kalau ombak sedang anteng. Jika ombak mengamuk saja sedikit, perjalanan bisa molor lebih lama, atau yang terburuk adalah petugas syahbandar melarang adanya pelayaran.

Dengan kondisi mabuk laut dan kurang tidur, kami menginjakkan kaki di Pulau Buru. Jika di Pulau Seram populasi orang Kristen masih di atas 30%, di Kabupaten Buru hanya 8,45% dan mereka tinggal pada lokasi-lokasi yang membutuhkan upaya ekstra untuk mencapainya. Dari ibukota kabupaten di Namlea, kami menyusuri jalan nasional yang membelah perbukitan sejauh 120km menuju Namrole. Kondisi kehidupan di area pesisir tak ubahnya dengan kabupaten-kabupaten lain di Indonesia—minimarket mudah kita temui dan lampu-lampu nyala benderang kala malam. Namun, selepas desa Lolongguba, lanskap dan suasana pun berubah drastis. Rumah-rumah yang permanen dari tembok berganti menjadi gubuk-gubuk kayu beratap seng, jalan berkelok membelah perbukitan yang ditumbuhi pohon-pohon eukaliptus, dan… malam pun menjadi momen yang sunyi. Cahaya hanya muncul dari lampu penerangan jalan yang ditenagai panel surya, sedangkan pada rumah penduduk, lampu pelita dari minyak tanah menjadi kawan di kala gelap. Tiang-tiang listrik memang telah berdiri, tetapi arusnya belum mengalir di daerah ini, salah satunya karena PLTA Way Apu belum rampung paripurna.

Rumah warga di Modanmohe, terletak di tepi belantara tanpa akses listrik sama sekali.
Rumah warga di Modanmohe, terletak di tepi belantara tanpa akses listrik sama sekali.
Anak-anak bersukacita menerima Paket Terang yang di dalamnya berisikan buku-buku rohani, komik, dan buku mewarnai.
Anak-anak bersukacita menerima Paket Terang yang di dalamnya berisikan buku-buku rohani, komik, dan buku mewarnai.
Suasana sosialisasi pelayanan misi Project Terang pada warga desa Walafao.
Suasana sosialisasi pelayanan misi Project Terang pada warga desa Walafao.
Rumah warga di desa Walafao, Kabupaten Buru Selatan.
Rumah warga di desa Walafao, Kabupaten Buru Selatan.

Pada delapan desa yang kami sambangi, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa orang-orang Kristen di Pulau Buru hidup dalam kondisi memprihatikan. Selain hidup terisolir secara geografis, mereka pun butuh disegarkan kehidupan rohaninya. Di Desa Modanmohe, anak-anak mereka tidak sekolah. Dan, pada beberapa kasus, kami dituturkan bahwa pernikahan dini pun lumrah terjadi, bukan sebagai budaya, tetapi karena jerat kemiskinan yang membuat para orang tua berpikir jalan pintas. Setibanya di kabupaten Buru Selatan, untuk menuju desa Walafao kami harus berpindah moda transportasi menggunakan ambulans off-road karena tak ada kendaraan lain yang tersedia, melibas jalan berlumpur sejauh 17 km dari Namrole, ibukota kabupaten Buru Selatan.

Namun, dari balik pergumulan orang-orang Kristen di Buru, kami menjumpai orang-orang yang menjadi penerus perjuangan Joseph Kam, yang mendedikasikan hidup mereka untuk merawat Injil lewat berbagai cara. Salah dua sosok itu adalah bapak pendeta Rollis yang lebih akrab disapa warga desa dengan sebutan “Pak Guru”, dan bapak pendeta Roswell. Kami diberi tumpangan pada sebuah asrama dan sekolah yang dikelola Pendeta Rollis bersama istrinya. Asrama ini menampung sekitar 30 siswa dari beragam usia, memperlengkapi generasi muda dengan pendidikan yang layak karena salah satu cara paling efektif untuk memberdayakan masyarakat dan memutus siklus kemiskinan hingga pernikahan dini adalah dengan jalan pendidikan.

Dengan bantuan pendeta Rollis dan Roswell, kami dapat mendistribusikan lebih dari seratus paket terang kepada warga di delapan desa. Tak berhenti hanya sampai memberi, kedua hamba Tuhan ini juga membimbing para warga untuk membangun persekutuan pribadi dengan Kristus lewat pembacaan Alkitab dan buku-buku rohani. Dengan bantuan lampu tenaga surya, malam hari sepulang aktivitas mereka di ladang dan hutan bisa digunakan untuk menumbuhkan iman lewat firman Tuhan.

***

Sepanjang perjalanan kekristenan, dari gereja perdana hingga zaman modern, Injil ibarat benih yang tak hanya disebar dan ditanam, tetapi juga dirawat, dipelihara hingga bertunas, tumbuh, dan berbuah. Kita dapat dengan mudah menjumpai tokoh-tokoh teladan yang dipakai Tuhan dengan hebat untuk misi ini, seperti Rasul Paulus hingga Joseph Kam.

Namun, tugas mulia ini bukanlah tanggung jawab hanya segelintir orang. Kita, orang-orang percaya yang diikat satu dalam iman dan kasih Kristus harus memperhatikan saudara-saudari kita. Selain aspek jasmani, yang tak boleh luput dari perhatian kita juga adalah aspek spiritual. Jika selama ini kita telah sungguh berdoa agar Tuhan terus menopang pekerjaan misi di berbagai tempat, doakanlah juga pelayanan Project Terang agar melaluinya Tuhan menjawab dan menyegarkan kerinduan anak-anak-Nya yang ingin mengenal Dia lebih dalam lagi. Kami percaya, pengenalan akan Tuhan akan memampukan mereka hidup dengan berbeda dan memberkati masyarakat sekitarnya.

Pelayanan misi tak pernah berhenti hanya sampai pada statistik. Dengan sukacita, mari kita doakan dan dukung pelayanan misi ini.

Sebagian warga Walafao yang telah menerima Paket Terang
Sebagian warga Walafao yang telah menerima Paket Terang