Saya mau cari sesuatu,” kata Pdt. Jilly Bika. Dia adalah hamba Tuhan yang menjemput kami di Malinau. “Tapi…,” sambungnya, “Tolong jangan merasa terganggu sama barangnya loh ya.”
Mulanya kami tak mengerti apa maksud Pak Jilly. Dia lalu turun dari mobil, sementara saya dan Santi menunggu di dalam. Tak berselang lama, dia kembali sambil menenteng sesuatu berwarna oranye yang diletakkannya di bagasi mobil.
Kota Malinau di Kalimantan Utara bukanlah tujuan akhir kami. Dari sini kami memang harus melanjutkan perjalanan ke desa-desa di tengah belantara. Akses satu-satunya hanya lewat sungai. Namun, bagaimana kondisi sungainya nanti kami tidak punya banyak gambaran.
Bob, salah satu anggota rombongan dari GKII yang berangkat bersama kami ikut menyahut. “Sebenarnya pelampung itu bukan jaminan kita gak akan tenggelam...”
“Terus?” saya menimpali.
“Buat nolong kami supaya lebih mudah menemukan orang-orang yang tenggelam,” guraunya untuk menakut-nakuti kami. Malam itu kami pun berdoa bersama dan menyusun strategi untuk keberangkatan esok hari.
Titik pemberhentian pertama yang akan kami tuju adalah Tanjung Nanga. Di sini kami masih menaiki mobil. Jaraknya kira-kira dua jam perjalanan ke arah hilir Sungai Malinau. Namun, medannya tidak mudah. Jalannya tersusun dari tanah berbatu dan amat berdebu karena di jalan ini jugalah truk-truk pengangkut batu bara hilir mudik. Sesampainya di tujuan, kami disambut oleh Pdt. Andarias, gembala sidang GKII Tanjung Nanga. Kami juga dipertemukan dengan Ev. Daud Niam, gembala sidang dari GKII Long Lake dan Vic. Encau, gembala sidang di GKII pos pelayanan umat Halanga. Di sinilah kami berganti rombongan. Pdt.Jilli kembali ke Langap sementara Ev. Daud dan Vik. Encau akan membawa kami ke tujuan: Long Lake.
Sesi naik mobil telah tuntas, sekarang tibalah saatnya pelampung yang dibeli Pak Jili terpakai. Ini pertama kalinya saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bentuk perahu yang akan membawa kami menembus pedalaman Kalimantan. Orang lokal menyebutnya sebagai “ketinting”, perahu kayu yang tampak langsing. Panjangnya kurang lebih 11 meter dan lebar 60 sentimeter. Supaya bisa perkasa melaju melawan arus, sebuah mesin bermotor dipasang di buntutnya. Namun, kekuatan mesin bukan satu-satunya faktor yang bisa menjamin perjalanan ini aman dan selamat. Dibutuhkan seorang motoris yang piawai untuk mengatur kapan menarik atau mengendurkan gas, menaik-turunkan serta mengarahkan poros panjang ketinting ini agar ia tidak kandas atau pun karam.
Ketinting dan derasnya air yang tersaji di depan mata saya memunculkan kembali kenangan akan trauma. Dulu saya pernah hanyut di sungai Brantas, dari kampung atas hingga bawah. Bersyukur, seorang pemilah pasir menyelamatkan saya. Dan… hari ini, saya harus mengalahkan trauma itu! Selama enam jam ke depan, saya, Santi, Ev. Daud, dan Vik. Encau akan mengarungi sungai dengan membawa serta paket-paket Terang.
“Tuhan, tenangkanlah hatiku,” saya mengucap doa. “Biarkan kami menikmati kehadiran-Mu dalam perjalanan ini.”
***
Ada tiga wilayah di sepanjang aliran sungai Malinau yang akan kami kunjungi, yaitu Long Lake, Long Jalan, dan Tabhau Pikah. Penduduk mayoritas di desa-desa itu adalah suku Dayak Punan, sub-suku dari Dayak yang masuk dalam rumpun bangsa Austronesia. Mereka telah mengenal Tuhan Yesus dan saat ini berada di bawah naungan penggembalaan sinode GKII (Gereja Kemah Injil Indonesia).
Jarak yang ditempuh dari Tanjung Nanga ke Long Lake adalah 34,4km. Rombongan kami berjumlah empat orang, jadi harus dibagi ke dalam dua ketinting. Sepanjang jalan kami dipenuhi rasa kagum dan syukur atas keindahan alam yang kami nikmati—hutan belantara hijau menghiasi kiri-kanan kami serta berbagai jenis burung beterbangan di atas kami. Namun, nuansa rileks ini tak berlangsung lama. Ada momen-momen perahu kami kandas saat melibas jeram. Alhasil, kami harus turun dan menarik perahu di tengah arus deras dan cuaca hujan. Meski demikian, kami bersyukur karena pelampung yang kami pakai selain berfungsi meminimalisir risiko tenggelam, rupanya juga melindungi kami dari angin.
Setiap kali perahu kami berhasil melewati jeram, Ev. Daud sengaja melambatkan ketinting untuk menunggu Santi dan Vic. Encau yang berlayar di belakang kami. Selepas satu jeram yang deras dan curam untuk didaki, kami tak kunjung juga melihat perahu Santi. Ev. Daud segera memutar ketinting kami dan mengarahkannya ke tepian. Namun, tak ada batu atau pun pohon yang bisa dipakai untuk menambat sehingga dia dengan cekatan mendaki tebing-tebing batu untuk mencari pohon yang cukup kuat dan mengikatkan tali perahu di sana. Ev. Daud menghilang dari pandangan dan tinggallah saya seorang diri bersama monyet kecil yang menjadi peliharaannya.
Tak lama kemudian tampaklah Santi dari balik bukit batu. Pakaiannya telah basah kuyup. “Perahu kami gak sanggup lewatin jeram di sana,” tuturnya. “Pak Daud datang buat tolong Pak Encau lewatin itu jeram.” Kami menatap jeram itu dan dalam hati berdoa memohon pertolongan Tuhan.
Syahdan, kami mendengar deru mesin yang meraung-raung. Dari balik batu besar, muncullah dua hamba Tuhan di atas dua ketinting. Mereka sungguh piawai, kerjasama mereka menjadikan ketinting kami mampu menembus jeram sulit tadi. Perjalanan semakin ke hulu semakin menantang. Arus lebih kencang dan motoris harus harus lihai memanuverkan ketinting supaya tidak menabrak batu. Puji Tuhan, perjalanan ini bisa terlewati dengan baik dan sore harinya kami tiba di tujuan: Desa Long Lake.
Desa Long Lake terletak di Kecamatan Malinau Selatan Hulu, Kabupaten Malinau. Ada 300 jiwa yang terbagi dalam 79 keluarga di 5 RT. Komposisi demografinya 53,33% laki-laki dan 46,67% perempuan. Dahulu suku Dayak Punan tinggal nomaden dan hidupnya hanya bergantung pada hasil hutan. Namun, di masa kini mereka telah tinggal menetap dan telah mengenal bercocok tanam padi dan sayuran. Untuk konsumsi protein hewani mereka dapatkan dari berburu di hutan. Dengan posisi yang begitu jauh di tengah belantara, akses listrik hanya didapatkan dari tenaga genset sehingga tidak bisa menyala setiap waktu. Tanpa listrik, berarti terbatas pula akses penerangan dan komunikasi.
***
Sahabat Our Daily Bread Ministries, cerita ini adalah pembuka dari bagaimana pelayanan misi Project Terang dilakukan di hulu sungai Malinau. Sulitnya perjalanan dan terpencilnya akses bukanlah alasan untuk kita melupakan saudara-saudari seiman kita. Selama hari-hari ke depan, kami bersama dua hamba-Nya, Ev. Daud dan Vik. Encau akan mendistribusikan paket-paket Terang pada keluarga-keluarga Kristen di tiap desa.
Perjalanan kami bisa tiba dengan selamat bukanlah karena kehebatan kami, tetapi kami percaya itu adalah kasih karunia Tuhan dan juga berkat Anda yang bersehati terlibat aktif mendukung pelayanan misi Project Terang melalui doa dan dana.
Ikuti terus update pelayanan ini, kunjungi santapanrohani.org/project-terang/