Artikel asli dari: Menemukan Pemeliharaan Tuhan lewat Tenaga Profesional Kesehatan Mental
Isu kesehatan mental dan komplikasinya adalah isu yang dulunya asing
bagiku. Beberapa tahun yang lalu, aku belum mengenal arti pentingnya
memiliki kesadaran soal merawat kesehatan mental bagi setiap orang,
dan bagaimana kita bisa saling menolong untuk menjaga kewarasan
rohani. Yang aku pahami adalah bahwa kesehatan mental setiap orang
diukur dengan tolak ukur yang sama dan tentu saja menjadi tanggung
jawab pribadi masing-masing untuk menjadi tetap kuat. Sebelumnya aku
merasa bahwa cara terbaik merawat kondisi mental pribadi adalah dengan
terlihat baik-baik saja dan memendam semua emosi. Tabu pula untuk
mengakui perasaan sedih, marah, kecewa, sakit hati, serta ekspresi
emosi “negatif” lainnya.
Caraku memperlakukan pergumulan mental selama ini, dengan berusaha
menyimpan untuk digumuli sendiri dan mencoba terlihat baik-baik saja
di mata orang lain, juga membuatku sedikit asing dengan profesi
konselor, psikolog, juga psikiater. Lagi-lagi aku berasumsi bahwa
ketiga profesi tersebut akan dibutuhkan hanya bagi seseorang dengan
gangguan jiwa yang parah, yang mungkin juga dipengaruhi oleh kurangnya
iman yang teguh. Namun semua asumsiku soal isu kesehatan mental dan
profesi yang berkaitan dengannya luntur ketika aku sendiri harus
menghadapi serangkaian peristiwa pahit yang cukup menggoyahkan hidup.
Tepatnya setahun lalu sejak kepindahanku ke Jakarta, ibu kota negara
yang tekanan hidupnya amat berbeda dan unik, banyak adaptasi yang
ternyata tidak selalu berjalan mulus. Awal-awal tinggal di Jakarta,
hampir setiap harinya aku merasa stres harus menahan marah melihat
kemacetan khas Jakarta dan desak-desakan antar penumpang di dalam bus
dan kereta, transportasi yang aku gunakan setiap hari saat berangkat
dan pulang dari tempat kerja.
Hal ini masih ditambah lagi dengan berbagai pergumulan personal,
misalnya banyak pertikaian dalam relasi dengan pacar, juga
peristiwa-peristiwa lain yang tidak jarang menguras banyak energi dan
emosi. Pada momen-momen inilah aku merasa kewalahan untuk hidup
sebagai seorang manusia. Aku merasa seperti mayat hidup, mengalami
kekosongan dalam diri, seringkali merasa lelah dan hilang arah, hingga
berakibat pada jatuhnya relasiku dengan Tuhan.
Dalam kondisi yang kacau saat itu, aku hanya menggunakan cara bertahan
yang selama ini aku tahu; bahwa semua kekacauan tersebut menjadi
tanggung jawabku pribadi, dan tidak baik membagikan kerapuhan kepada
orang lain. Ketakutan terbesarku ketika mencoba membagikan kerapuhan
kepada orang lain adalah respons negatif berupa penghakiman dari
mereka ketika melihat bagian diriku yang kelam yang semakin membuatku
terpuruk, padahal ketakutan tersebut belum tentu akan terjadi. Namun
sikap yang kutunjukkan dalam keseharian tak bisa bohong. Orang
terdekatku melihat banyak keanehan dalam diriku seperti banyak murung,
mudah menangis tanpa alasan jelas, juga banyak ungkapan pesimis
terlontar dari mulutku.
Akhirnya seseorang mendorongku untuk datang ke sebuah lembaga
konseling Kristen di Jakarta. Tentu saja mulanya aku menolak
habis-habisan. “Aku masih waras kok,” begitu pikirku. Namun dorongan
beberapa orang terdekat dan kemurahan hati seorang kawan yang bersedia
menemaniku ke tempat konseling membuatku bersedia menemui seorang
konselor. Tentu saja, pertemuan pertama membuatku takut. Bagaimana
mungkin aku harus membuka luka kepada orang asing yang sama sekali
tidak mengenalku?
Tapi lagi-lagi, ketakutan serta asumsiku sama sekali tidak terbukti.
Sepulang dari konseling, aku merasa amat dilegakan seperti sebagian
beban hidupku terangkat. Aku bersyukur sekali ketika dipertemukan
dengan seorang konselor yang amat hangat sehingga membuatku nyaman dan
aman dalam membagikan banyak persoalanku tanpa sama sekali keluar
penghakiman darinya, justru sambutan hangat dan positif yang tidak
henti-henti kudapatkan. Di akhir sesi, beliau memberikan saran yang
ternyata sederhana untuk menguraikan emosi dalam diriku: menulis.
Akhirnya aku mulai mendisplinkan diri untuk mulai menuliskan berbagai
emosi yang aku rasakan. Hasilnya cukup membantuku, yakni aku mulai
belajar memetakan isi kepala terhadap semua respons emosi yang aku
alami terhadap suatu peristiwa.
Benar, datang untuk konseling tidak menjamin permasalahan hidup akan
selesai atau menemukan jalan keluar seketika. Namun menemukan seorang
penolong profesional yang lebih mampu melihat secara jernih akar
permasalahan dan memiliki sudut pandang obyektif ternyata mampu
membuatku melihat banyak benang kusut dalam permasalahan hidup yang
sedikit demi sedikit mampu diuraikan.
Hal ini mengingatkanku kepada nabi Elia, yang pernah mengalami
kejatuhan mental dan depresi, juga bagaimana Tuhan menolongnya. Dalam
kitab 1 Raja-raja 19 disebutkan bahwa Elia diancam dibunuh oleh Ratu
Izebel yang geram akibat tindakan Elia yang membuktikan kekuasaan
Allah dan kepalsuan nabi-nabi Baal. Di ayat 3 dan 4, dia, di luar
dugaan kita akan nabi yang tangguh dalam Allah, justru meminta Tuhan
untuk mengambil nyawanya karena begitu takutnya dia akan ancaman
pembunuhan Izebel.
Lalu apa respons Tuhan? Dia ternyata mendengar ketakutan Elia dan
menyatakan penyertaan-Nya, namun dengan cara yang tidak terlihat
megah, malah remeh, yakni lewat roti bakar dan air (ayat 5-8) yang
mendampingi istirahatnya, serta angin sepoi-sepoi yang menghampiri
Elia (ayat 12).
Aku sering menganggap bahwa pertolongan Tuhan kepada para nabi pasti
dengan cara dahsyat, namun kenyataannya Tuhan memperlengkapi dan
menjaga semua anak-anak-Nya hari lepas hari dengan cara yang tidak
terduga namun selalu mencukupkan.
Melalui nabi Elia yang berani mengutarakan ketakutannya kepada Tuhan,
aku menyadari bahwa tidak apa-apa mengungkapkan dan mengekspresikan
rasa takut atau emosi yang selama ini dianggap negatif alih-alih
dipendam baik-baik agar nampak kuat. Aku pun melihat bahwa semua
respons emosi juga Tuhan izinkan, tujuannya tentu saja untuk mengingat
bahwa kita manusia yang memerlukan Tuhan untuk menolong semua
kerapuhan kita.
Aku pun dituntun untuk belajar melihat dengan rendah hati serta
menerima bahwa diri ini penuh kerapuhan dan memerlukan pertolongan
Tuhan untuk menguatkan. Juga untuk tidak menganggap remeh
bentuk-bentuk pertolongan yang Tuhan sediakan, termasuk melalui
profesional di bidangnya yang membagikan pemahaman yang objektif serta
pertolongan yang nampak simpel tapi sejatinya amat menguatkan.
Aku tahu di masa-masa sukar ini kita semua sedang sama-sama berjuang
melaluinya. Tidak jarang kita merasa sendirian, kecewa, sakit hati,
atau bahkan kehilangan harapan. Namun semoga kita semua selalu ingat
bahwa kita selalu diperlengkapi dengan banyak pertolongan-pertolongan
yang sederhana namun mencukupkan. Tugas kita hanyalah untuk mau rendah
hati mengakui kerapuhan dan memiliki kesediaan untuk mau ditolong. Aku
berdoa agar apapun yang sedang kita alami saat ini, semoga tidak
pernah kehilangan harapan hidup di dalam Allah yang senantiasa
mengasihi kita dengan cara-Nya yang unik.
Persembahan kasih yang Anda berikan kepada Our Daily Bread Ministries memampukan kami untuk terus menghasilkan beragam renungan, podcast, video, dan materi lainnya bagi orang-orang yang membutuhkan penghiburan sejati dari firman Tuhan.
DUKUNG KAMI