Artikel asli dari: Keindahan di Tengah Kekelaman
Segalanya berkeliaran di kepalamu, saling berlomba menarik
perhatian—tentang peristiwa masa lalu yang meninggalkan luka dan duka
dengan segala penilaian dan penafsiranmu. Mereka datang bertubi-tubi
dan kamu kelelahan menyambut mereka satu per satu. Kamu mencoba
mengatur setiap tarikan dan hembusan nafasmu, berupaya tenang dan
yakin bahwa kedatangannya barang sejenak—segera ia akan berlalu dan
berharap kamu bisa tidur pulas melewati malam yang panjang hingga pagi
tiba.
Setiap kita pasti pernah atau mungkin sedang merasakan hidup yang
terasa hampa dan tanpa gairah. Melewati malam-malam yang penuh cemas
di mana setiap denting jarum jam terdengar begitu jelas dan terasa
lambat—detik demi detik, diselimuti ketakutan, dan serangan rasa sakit
di setiap sisi tubuh. Sungguh, menanti pagi bisa begitu menyiksa.
Lalu, sepanjang hari pun akan dilalui dengan letih ketika semua yang
dikerjakan tidak membawa sukacita.
Tentang gangguan mental, sudah tersedia banyak penelitian dan
informasi memadai yang dapat kita akses, baik melalui buku-buku maupun
di internet yang mengkaji penyebab dan penanganannya. Bahkan, sepuluh
tahun terakhir ada peningkatan kesadaran publik dan diskusi yang lebih
luas mengenainya, salah satu faktornya ketika pemerintah Indonesia
memasukkan isu kesehatan mental dalam Rencana Aksi Nasional Kesehatan
Mental (RAN-KM). Namun, banyaknya perdebatan mengenai
penyebab-penyebab gangguan mental, contohnya depresi, membuat kita
mengabaikan hal yang sudah jelas bahwa depresi itu menyakitkan.
Depresi merupakan suatu bentuk penderitaan.
Meskipun tidak mudah untuk mengakui, tetapi kita perlu belajar
memercayai bahwa di dalam penderitaan yang Tuhan izinkan selalu ada
pembentukan yang Tuhan inginkan bagi setiap kita. Belajar percaya pun
adalah proses yang di dalamnya kita seringkali tergoda untuk menyerah.
Kita tidak sendirian
Tidak seorang pun ingin menderita, tetapi di tengah hiruk pikuk
kehidupan kita yang serba cepat, stres telah menjadi teman yang tidak
diinginkan bagi setiap kita dan dapat memicu depresi. Charles
Spurgeon, seorang pengkhotbah Inggris terkenal yang bergumul dengan
depresi seumur hidupnya, pernah berkata, “Pikiran dapat merosot jauh
lebih rendah daripada tubuh, karena di dalamnya terdapat jurang yang
tak berdasar. Daging hanya dapat menanggung sejumlah luka dan tidak
lebih, tetapi jiwa dapat berdarah dalam sepuluh ribu cara, dan mati
berulang kali setiap jam.”
Mengetahui bahwa kita tidak sendirian dalam penderitaan ini bukan
hanya ketika kita melihat dalam sejarah bahwa para raksasa iman pernah
mengalaminya, tetapi lebih dari itu Tuhan Yesus pun pernah bergumul di
dalam penderitaan yang serupa. Injil Lukas membentangkan kepada kita
pengalaman Tuhan Yesus di taman Getsemani sebelum penangkapan dan
penyaliban-Nya. Ketika Tuhan Yesus berdoa, ada kecemasan yang begitu
besar hingga terwujud secara fisik yaitu keringat-Nya menjadi
tetes-tetes darah. Mungkin kita akan bertanya-tanya, “Bagaimana
mungkin Dia yang pernah melakukan banyak mukjizat itu mengalami
kecemasan? Bagaimana mungkin Dia yang memegang kemenangan atas
kematian pernah merasa khawatir atau takut? Kita perlu terus belajar
mengenal Allah yang berinkarnasi, bahwa dalam kemanusiaan-Nya, Dia
merasakan segala bentuk emosi dan kelemahan kita, termasuk ketakutan,
kesedihan, dan kecemasan. Pengalaman-Nya di taman Getsemani
mengungkapkan betapa dalamnya penderitaan yang harus Dia tanggung demi
menebus dosa manusia. Tuhan Yesus tidak hanya memahami penderitaan
kita dari kejauhan, tetapi Dia sendiri telah merasakannya. Tuhan Yesus
adalah Allah yang menderita.
Kesadaran akan butuhnya pertolongan
Kita lebih suka terlihat mampu, sehat, dan kuat. Namun, di dunia yang
sudah jatuh ini, kelemahan dan kerapuhan adalah realitas yang tidak
dapat kita hindari. Kelemahan atau kebutuhan kita akan pertolongan
adalah modal berharga di dalam komunitas keluarga Allah.
Apabila kita mengingat kembali saat kita mendapat pertolongan, kata
Edward Welch, seringkali mereka adalah teman-teman kita—orang-orang
biasa yang ada dalam hidup kita sehari-hari. Kehadiran mereka dalam
hidup kita disertai belas kasihan dan cinta kasih. Itulah cara Allah
yang sempurna. Hal ini membawaku dalam perenungan bahwa kesediaan kita
untuk meminta pertolongan kepada orang lain adalah syarat untuk kita
menjadi penolong yang baik bagi sesama. Kepada mereka yang paling
dekat, mintalah dengan rendah hati jika kita hanya ingin didengarkan.
Mintalah waktu mereka jika kita sedang ingin ditemani ke suatu tempat.
Mintalah dengan berani jika kita ingin didoakan. Hal-hal kecil ini
dapat membawa kehangatan dan kesadaran bahwa ada orang-orang yang mau
ikut menanggung kesusahan kita. Harus diakui, selalu ada risiko yang
akan ditanggung dalam setiap relasi, entah karena respons yang kita
terima tidak tepat atau ketika kita disalahpahami, tetapi dalam proses
ini pun kita belajar hal yang tidak kalah penting: keterbukaan dan
kerendahan hati.
Penerimaan akan hal-hal yang belum atau tidak akan terjawab
Barangkali, penderitaan kita mungkin tidak akan berujung hingga kita
tiba di kekekalan bersama Bapa. Mungkin, pada beberapa kondisi kita
dapat menemukan alasan-alasan atas penderitaan kita, tetapi mungkin
pada kondisi lainnya kita tidak pernah dapat mengetahui penyebabnya.
Lebih lanjut lagi, Edward Welch, mengarahkan kita dengan mengatakan,
“Bukannya mengajarkan kepada kita bagaimana mengidentifikasi
penyebab-penyebab dari penderitaan, sebaliknya Alkitab memimpin kita
kepada Allah yang mengetahui semua hal dan yang dapat dipercaya
sepenuhnya.”
Kita tahu, Alkitab tidak selalu memberikan penjelasan langsung atas
setiap peristiwa yang kita alami. Namun, Alkitab memberi kita
pengetahuan supaya kita dapat mengenal dan memercayai Allah. Adakah
hal yang lebih membawa sukacita ketika kita mengetahui bahwa Allah
dalam banyak cara sedang menggembalakan hidup kita? Memercayai bahwa
Allah sedang mengerjakan pemulihan atas kita, dengan demikian betapa
kita dapat mengucap syukur dalam segala perkara.
Perjalanan hidup kita yang tak lepas dari pergumulan demi pergumulan
mungkin terasa tak mudah ditanggung. Mungkin, hari-hari yang akan kita
lalui terasa berat dan melelahkan. Mungkin, kita akan bertemu
malam-malam yang terasa panjang dan menakutkan. Mungkin, kita akan
sulit menempuh mazmur kemenangan. Namun, di dalam masa suram dan kelam
itu, satu hal yang pasti: Sang Gembala hadir. Dia dekat dan terlibat.
Dia murah hati dan lemah lembut. Dia menemui kita secara terus
menerus. Kehadiran-Nya membawa kita menyaksikan bahwa ada
keindahan-keindahan yang dapat dilihat dari kedalaman lembah.
Memercayai bahwa bersama Dia, tidak ada perjalanan yang terlalu jauh
untuk ditempuh dan tidak ada lubang yang terlalu dalam yang tidak
dapat dijangkau oleh kasih-Nya, sehingga kita dapat menjadi saksi
bahwa depresi dan kasih dapat hidup bersama dalam satu orang yang
sama.
Ibrani 13:5 (AYT): “Aku tidak akan meninggalkanmu, dan tidak akan
pernah mengabaikanmu.”
Persembahan kasih yang Anda berikan kepada Our Daily Bread Ministries memampukan kami untuk terus menghasilkan beragam renungan, podcast, video, dan materi lainnya bagi orang-orang yang membutuhkan penghiburan sejati dari firman Tuhan.
DUKUNG KAMI