Siapa yang Harus Mendidik Cucu?

Kehadiran anak dalam sebuah keluarga bukan sesuatu yang pasti dari sebuah pernikahan. Untuk memperoleh anak, pasti ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Keberadaan anak bukan pelengkap dari sebuah keluarga karena dua orang sudah lengkap saat mereka bersatu.

Ketika Tuhan menghadirkan anak dalam sebuah keluarga, Tuhan menitipkan anak itu kepada ayah-ibunya, bukan kepada nenek atau kakeknya. Namun, yang kerap terjadi, saking excited-nya, kakek dan nenek ingin “ikutan” juga dalam mendidik para cucu.

“Sering kita temui, para kakek dan nenek memandang cucu sebagai yang termanis dan terlucu sehingga toleransi mereka berlebihan. Perilaku cucu yang sudah lewat batas masih dilihat sebagai kelucuan.”

Pasangan muda yang baru menikah dan punya anak mungkin belum memiliki kehidupan ekonomi yang stabil. Kakek dan nenek ingin mengambil alih dengan mengatakan, “Pokoknya kami yang akan membiayai sekolah si Bagus. Kalian tidak usah khawatir. Menurut Mama, ia anak pintar dan harus disekolahkan di sana.”

Kakek dan nenek sebenarnya bermaksud baik–mereka ingin memberikan yang terbaik untuk cucunya. Namun, cucu tidak sama dengan anak–anak semasa kecil berada di bawah otoritas orangtua. Begitu juga cucu, ia berada di bawah otoritas orangtuanya, bukan kakek-neneknya. Orangtualah yang berkewajiban mendidik anak-anak, sebagaimana nyata dalam ayat ini: “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan. Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ulangan 6:6-7). Jika kita mengetahui anak dan menantu kita sedang dalam kondisi ekonomi yang buruk, kita bisa berdiskusi secara dewasa dan terbuka. Dengan begitu, niat baik untuk menolong tidak dilihat sebagai intervensi karena keputusan tetap berada di tangan anak dan menantu.

Kasus lain yang sama-sama membuat para kakek dan nenek biasanya ingin bergerak tanpa sadar adalah ketika cucu sedang sakit. Seorang nenek bercerita kepada saya, “Beda ya, kalau sama cucu. Saya enggak bisaan, enggak tega, mendengar cucu nangis langsung ingin menggendong. Padahal dulu sama anak mah enggak segitunya.”

Apakah Anda punya perasaan yang sama? Ketika melihat cucu sakit, rasa tidak tega membuat Anda merasa ingin langsung membawanya ke dokter, padahal orangtuanya memilih mengobatinya sendiri di rumah. Ingat-ingat lagi batasan ini: Anda tidak lagi berada di lingkaran utama anak! Jadikan ini prinsip dalam menjalani peran sebagai kakek dan nenek.

Bila Kakek dan Nenek Dititipi Cucu

Kemajuan zaman membuat banyak perempuan bekerja. Para ibu ikut mengisi berbagai posisi di perusahaan-perusahaan, entah karena alasan ekonomi atau aktualisasi diri. Kalau begitu, siapa yang menjaga anak di rumah? Beberapa orangtua memutuskan menggunakan jasa asisten rumah tangga. Yang lain menitipkan anak-anak kepada orangtua mereka. Jadinya, kakek-nenek sekarang punya tugas baru sebagai “MC” alias “momong cucu.” Apakah ini tepat?

Bila anak dan menantu menitipkan cucu hanya pada saat-saat khusus–misalnya ketika mereka pergi merayakan ulang tahun pernikahan atau pergi ke luar kota selama beberapa hari–tentu tidak masalah. Namun, bagaimana jadinya kalau para cucu dititipkan setiap hari karena orangtua mereka bekerja?

“Aturan antara orangtua dan kakek-nenek tentu berbeda–anak akan mengalami standar ganda.”

Inilah yang dikhawatirkan ketika anak berada di dua lingkungan yang berbeda. Kalau dengan kakek dan nenek boleh nonton televisi selama satu jam. Namun, sama papa dan mama cuma boleh setengah jam, atau sebaliknya. Anda sebagai orangtua perlu memberikan pengertian kepada anak bahwa tugas mengasuh dan mendidik anak ada di tangan mereka, bukan di tangan kakek dan nenek.

Penulis:
Charlotte Priatna
Disarikan dari buku: “Learning to Stop: Bisakah Kita Berhenti Menjadi Orangtua?”

Bagikan Artikel ini!