Warisan Iman

Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita. (2 Tim. 1:13-14)

Masih dini hari, terdengar suara pagar rumah didorong dan mesin mobil dinyalakan, disusul kemudian dengan suara mobil menderu menjauhi rumah. Itu pasti ayah! Ayahku secara konsisten bangun setiap jam 3 subuh untuk berdoa bersama Ibu, lalu setelahnya bersiap menuju Setukpa (Sekolah Pembentukan Perwira) Polri untuk memimpin kapel pagi bagi para perwira Kristen di sana. Ya, ayahku seorang pembina rohani Kristen di Setukpa Polri, yang melayani para perwira Kristen di waktu yang bersamaan dengan perwira lain melaksanakan sholat subuh.

Ayahku bukanlah pendeta yang memimpin gereja, bukan juga seorang perwira polisi, tetapi entah mengapa ia bisa terlibat pelayanan di sana. Ia memilih pelayanan yang tidak biasa yaitu melayani para perwira polisi dan narapidana di lapas. Bagi ayahku, baik pihak berwajib maupun penghuni lapas, keduanya sama penting; sama-sama manusia yang perlu dilayani dan diberi siraman rohani.

Pelayanan yang sungguh tidak mudah. Banyak kali Ayah mengajak rekan sesama hamba Tuhan untuk ikut melayani di sana, tetapi tidak ada yang bisa konsisten melayani. Sehingga ayahkulah yang setiap hari melayani di sana. Jam ibadahnya sengaja disamakan dengan waktu sholat subuh para perwira Muslim. Karena, sesudah itu, mereka tidak ada waktu lagi untuk beribadah, karena kesibukan yang tinggi. Bukan hal yang mudah untuk tetap setia bangun dini hari selama bertahun-tahun dan pergi melayani di sana. Apalagi, tidak selalu jerih payahnya itu bisa membuahkan hasil yang berarti. Salah satu PR ayahku adalah memastikan para perwira memiliki integritas tinggi dalam menegakkan hukum dan para narapidana sungguh-sungguh bertobat setelah keluar dari penjara. Namun, ada saja perwira yang malah “berganti status” menjadi penghuni lapas karena melanggar hukum, atau para penghuni lapas yang kembali menghuni penjara setelah dibebaskan, atau bahkan tertembak mati di luar akibat ulah mereka mengulangi kejahatan yang pernah mereka lakukan. Padahal, ayahku terkadang sampai membantu mencarikan pekerjaan atau memberikan modal usaha kepada mereka agar bisa mencari nafkah dengan benar. Namun, berbagai ketidakberhasilan itu (kalau boleh dikatakan demikian) tidak membuat Ayah surut langkah dan berhenti melayani.

Sebagai anak, terkadang aku sendiri heran, mengapa ayahku begitu tekun dan setia melakukan pelayanan yang berat itu. Namun, lambat laun aku paham bahwa itu adalah panggilannya. Ayahku melakukan panggilannya dengan setia walau tak selalu berhasil. Seperti Paulus dalam suratnya kepada Timotius mengatakan, “Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus” (2 Tim. 1:13). Mungkin itu yang mendasari apa yang ia lakukan setiap hari. Bukan soal hasil akhir, tetapi ketekunan karena iman adalah anugerah semata. Kita hanya bisa berusaha, hasil akhir tetap Tuhan yang menentukan.

Kesetiaan Ayah itu membuatku kagum. Apa yang Ayah lakukan rupanya menurun dari kebiasaan nenek buyutku, yang walaupun sudah berusia 90 tahun waktu itu, tetapi selalu setia datang ke gereja, bersaat teduh dan berdoa pagi, mendoakan anak-anak dan cucu-cucu serta cicit-cicitnya. Meninggal pun beliau dalam posisi tenang dengan sikap berdoa. Kesetiaan yang sama juga ditunjukkan oleh nenekku. Ia memiliki kebiasaan yang sama dan melalui kesaksian hidupnya, berhasil membawa suaminya ikut ke gereja. Sebelum meninggal, kakekku telah mendeklarasikan imannya kepada Kristus dan dibaptis.

Aku masih di asrama ketika mendengar berita bahwa ayahku harus masuk rumah sakit akibat terjatuh lemas selesai memimpin ibadah siang di gereja Setukpa. Para perwira di sana secara sigap menangkap badan Ayah sehingga ia tidak terjatuh. Malamnya, setelah berada di rumah sakit, ia masih mampu melakukan video call meski suaranya sudah mulai tidak jelas pelafalannya akibat stroke ringan yang mulai melumpuhkan sebelah bagian tubuhnya.

Ayahku yang kucintai akhirnya dipanggil Tuhan keesokan harinya, tanpa aku sempat menemuinya sebelum beliau meninggal. Mungkin, ia juga tidak pernah tahu bahwa yang ia lakukan selama ini telah menjadi teladan dan warisan iman bagi anaknya. Meski tak ada anaknya yang mengatakan hal itu secara langsung kepadanya, tetapi aku bersyukur karena hidup ayahku tidak sia-sia. Ia telah menerima panggilan yang Tuhan percayakan untuknya dan melakukannya dengan setia. Aku sendiri sekarang terpanggil untuk melayani Tuhan, bidang yang sama sekali berbeda dari yang sempat kupilih sebelumnya, sebagian adalah berkat warisan iman yang kuterima dari Ayah.

Ketika aku tiba di Sukabumi, aku mendapati ayahku sudah terbaring di rumah duka. Namun aku bersyukur masih sempat memakaikan jas dan meluruskan dasinya, membuatnya tetap tampil rapi di hari terakhirnya. Meski Ayah telah kembali ke rumah Bapa, namun warisan iman yang sangat berharga yang ia tinggalkan untuk kami anak-anaknya, tetap kekal abadi.

“Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1 Timotius 4:12).

Penulis:
Vika Rahelia
Bagikan Artikel ini!

Klik tautan di bawah ini untuk memesan buku atau mengirimkan donasi Anda.