Lima Roti Dua Ikan dari Opa

Dering telepon di sebelah kiri komputer memecah konsentrasi Rina. Terdengar suara Santi di ujung telepon.

“Rin.. ini ada orang yang sedang bergumul dengan pelayanannya, dan katanya ia kenal kamu. Cepat deh turun ke bawah!“ seru Santi melalui telepon, nadanya terdengar kuatir. “Beliau dulunya punya taksi,“ sambungnya menjelaskan

“Oh, Opa Hardy!” Rina yakin itu pasti beliau, sosok pemberita Kabar Baik yang menjadi panutannya selama ini. Sekian purnama tidak mendengar kabar dari ”penginjil taksi”, begitu Rina menyebutnya, sekarang tiba-tiba orang yang dimaksud muncul di kantornya. Sepintas Rina teringat kembali pada perbincangan mereka dulu:

“Saya sengaja membeli taksi ini untuk memenuhi Amanat Agung Tuhan Yesus. Kita diberi amanat untuk memberitakan Injil sampai ke ujung bumi. Saya tidak bisa pergi sampai ke ujung bumi untuk memberitakan Injil, namun melalui taksi justru orang-orang dari ujung bumi yang datang ke sini. Saya memberitakan Injil kepada banyak orang di seluruh belahan dunia yang menjadi penumpang saya.”

Pria tua itu mengatakan semua itu dengan mata menyipit dan senyum lebar. Bukan kebanggaan yang sedang ia tonjolkan tetapi semangat pelayanan itu yang sedang ia sebarkan. Kami berenam berdiri di sekelilingnya dan berdecak kagum melihat semangatnya.

Namun, ketika Rina turun menemuinya, keadaan beliau sekarang berbeda sekali dengan saat mereka baru bertemu dulu.

“Apa kabar Pak?” sapa Rina ceria. “Masih berkobar-kobar melayani?“
Beliau tertunduk lesu. “Sekarang sedang padam,” jawabnya dengan suara pelan. ”Saya tidak melakukan apa-apa lagi.” Perkataannya nyaris tak terdengar.

Rina menggeser kursi supaya bisa lebih mendekat kepada Opa Hardy, seakan bertanya “kenapa?”

“Saya sudah menjual taksi saya. Jadi sudah tidak punya penghasilan lagi. Saya mau berhenti saja melayani.”

“Bagaimana dengan teman-teman di gereja?” tanya Rina hati-hati.

“Semua teman di gereja baik-baik. Mereka berusaha menyemangati saya. Tapi saya yang minder dengan keadaan saya, jadi saya agak menjauh. Soalnya saya malu, merasa tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa..”

Mereka berdua terdiam. Rina tahu keadaan yang dialami Opa Hardy pasti sangat tidak enak, minder karena merasa tidak mampu memberikan kontribusi apa-apa lagi kepada gereja. Padahal, sebenarnya itu hanya perasaan Opa saja. Ingin rasanya Rina mengoreksi pernyataan sosok rapuh nan sedih yang duduk di hadapannya ini. Bagaimana ya? Rina berpikir keras.

“Opa ..” Pelan-pelan Rina mulai berbicara, sedikit menekankan kata demi kata. “Tuhan mengasihi kita saat kita kuat, dan Dia tetap mengasihi kita saat kita lemah. Tuhan menyayangi kita di saat sehat dan tetap sayang di saat kita sakit. Tuhan memedulikan kita saat kita kaya, dan Tuhan tidak menarik tangan-Nya saat kita miskin. Sesungguhnya tidak ada apa pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus. Tidak kelemahan, kesakitan, atau kekurangan. Tidak ada satu pun.”

Baru saja Rina selesai berbicara, mendadak terdengar suara seruan berbarengan menyapa: “Hai Opaaaa...” Ternyata teman-teman kantor Rina, menyela pembicaraan pribadinya dengan Opa Hardy. Kemudian, Rina memperkenalkan mereka satu per satu dan tidak lupa menjelaskan peranan mereka masing-masing dalam pelayanan di kantor ini.

“Ini Vinny, yang melayani di bagian Ministry Services. Ia yang akan menerima telepon dari pihak luar. Jika ada yang meminta buku kepada kami, Eben ini yang akan mempersiapkan paketnya sehingga siap dikirimkan. Nah, lalu jika orang tersebut merasa diberkati dengan buku-buku bacaan dari ODB dan ingin memberikan donasi, Maya ini yang akan memprosesnya. Kalau ini Timmy, anak muda yang hari ini menjadi volunteer di kantor kami sebelum ia mulai pendidikannya di perguruan tinggi. Mereka semua senang melayani!”

Mata Opa Hardy berbinar, ia senang melihat dan mengenal mereka satu per satu. “Bagaimana kalau kita mendoakan Opa secara bersama-sama. Kita minta Roh Kudus untuk mengobarkan kembali semangat pelayanan di hati Opa,” usul Rina antusias. Dan semua pun mendekat ke arah Opa. Rina menumpangkan tangan atas Opa dan semua berdoa bersama-sama memohonkan kobaran semangat dari Roh Kudus untuk Opa Hardy.



Ada rasa sejuk di hati saat perlahan mereka melihat Opa Hardy tersenyum. Lelaki tua itu lalu memberikan roti kepada kami sambil berkata, “Saya tahu ini adalah kantor Our Daily Bread, itu sebabnya saya membawa roti jasmani sebagai oleh-oleh untuk kalian.” Selanjutnya, ia membuka sebuah amplop kecil berisi lembaran lima puluh ribuan dan dua puluh ribuan lalu berkata, “Saya ingin memberikan ini sebagai persembahan kasih untuk pelayanan di tempat ini. Jangan lihat besaran nilainya, tapi lihat, ada simbol di baliknya.” Ia mengulurkan amplop itu kepada Santi sambil menjelaskan maksudnya. “Ini adalah simbol lima roti dan dua ikan. Sama seperti Tuhan Yesus telah mencukupkan kebutuhan para pengikutnya yang berjumlah 5000 orang, maka Tuhan yang sama akan mencukupkan kebutuhan ODB untuk terus melayani.”

Kami menerima pemberian Opa Hardy itu dengan penuh syukur. Dalam hati Rina menjerit, “Oh Tuhan!” Ya, Opa Hardy telah memberi dari keterbatasannya namun betapa pemberian itu menjadi berkat yang berlimpah untuk ODB Indonesia. Menguatkan hati setiap mereka yang ada di situ untuk tetap setia meneruskan pelayanan ini meski bayang-bayang resesi mencoba menakuti. Namun semua yakin “lima roti dan dua ikan” ini cukup bagi mereka untuk bisa bertahan dari waktu ke waktu.

Opa bangkit dari duduknya, lalu berucap, “Saya ingin bercerita…” Mulailah orangtua yang mereka kasihi itu memberikan wejangan demi wejangan. Mulai dari bagaimana menginjili secara sederhana, sampai wejangan dalam mencari jodoh bagi para jomblo di kantor. Ia menjelaskan bahwa dalam mencari jodoh, penting sekali melihat ABCDE. Apa sajakah itu? Dengan detil ia menjelaskan bahwa A berarti ‘appearance’ alias penampilan, B adalah ‘background’ alias latar belakang, C berarti ‘Christian’ artinya harus orang Kristen, D adalah ‘devotion’ yang berarti taat merenungkan firman Tuhan, dan E adalah ‘education” yang berarti pendidikan. Hal-hal itulah yang perlu dipertimbangkan dalam mencari pasangan hidup. “Ada lagi tambahan F, yaitu ‘financial’ alias harus punya duit,” canda si Opa. Semua yang ada di situ tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya.

Selain itu, si Opa juga bersaksi tentang seorang wanita sederhana yang memakai sandal kebesaran dan hampir putus. Begitu melihat wanita itu, si Opa mendatanginya dan memberitahukan kepadanya bahwa ia dulu jahat dan pelit. Tapi kemudian ia bertemu dengan Yesus Kristus yang telah mengubah hidupnya. Yesus inilah yang menyuruhnya menghampiri wanita itu dan memberinya uang lima puluh ribu untuk membeli sandal. Wow! Rina yakin, wanita sederhana itu tidak hanya akan mengingat pemberian si Opa, namun juga akan terus ingat pada Yesus yang mungkin belum dikenalnya, tapi yang telah menggerakkan hati Opa Hardy untuk menolongnya.

Opa Hardy mengakhiri kunjungannya dengan cerita itu lalu pamit pulang. Meski tubuhnya terlihat renta di usianya yang ke-72 tahun, tetapi ia masih ingin melayani Tuhan. Dengan membawa tas berisi audio device (perangkat audio yang diproduksi oleh ODB untuk dibagikan kepada lansia) dan buku “Engkaulah Kekuatanku” (buku yang diterbitkan khusus untuk lansia), ia bertekad untuk memberikannya kepada orang yang tepat, yang akan Tuhan tunjukkan kepadanya. Sebelum mencapai pintu keluar ia berkata, “Tadinya saya pikir, hari ini saya datang ke kantor ini untuk berpamitan, karena tidak akan melayani bersama-sama lagi. Namun ternyata ini bukan akhir dari pelayanan, tetapi sebuah awal.”

Selamat melayani kembali Opa Hardy. Kondisi tua atau muda tidak akan membuat kita surut atau berhenti melayani Tuhan. Kita masih tetap bisa berdaya guna, berapapun usia kita.

Bagikan Artikel ini!

Klik tautan di bawah ini untuk memesan buku atau mengirimkan donasi Anda.