Indah pada Waktunya Hingga Akhir Hayat

Segala sesuatu ada waktunya. Pengkhotbah 3:1 mengatakan demikian. Ada waktunya sehat, ada waktunya sakit. Ada waktu untuk hidup, ada waktu untuk meninggalkan dunia ini. Fase kehidupan yang sudah pasti bagi setiap manusia adalah kelahiran dan kematian. Setiap yang terlahir nanti akan akan kembali kepada Sang Pencipta. Pertanyaannya: apakah hari-hari selama kehidupan kita di dunia ini sudah dihabiskan dengan sukacita bersama Tuhan?

Banyak orang tidak sungguh-sungguh hidup untuk hari ini. Mereka terus menoleh ke belakang atau melihat terlalu jauh ke depan. Mengungkit kesuksesan, menyesali kegagalan, dan menyimpan dendam merupakan contoh orang yang masih hidup di masa lalu. Di sini lain, ada juga orang yang amat mencemaskan masa depannya hingga tidak pernah bisa menikmati kehidupannya di masa sekarang.

Sebagian orang tua suka mengenang kesuksesan di masa mudanya. Hal itu terpicu dari keinginan untuk kembali ke tahun-tahun di mana kita merasa amat hebat dan berguna–masa muda yang produktif, berprestasi, dan mengesankan.

Sekarang kita sudah berada pada tahapan hidup baru yang berbeda. Semuanya sudah tidak sama lagi. Namun, bukan berarti kita tidak bisa lagi melakukan hal-hal positif yang masih mungkin dilakukan.

Usia kita mungkin sudah menyentuh angka 65, 70, atau 75 tahun. Namun, usia bukan patokan kita tidak bisa lagi berguna atau merasa bahagia. Setiap hari adalah anugerah, berapa pun usia kita. Kita semua tetap berharga di mata Tuhan, sekalipun usia menua. Kalau hari ini Tuhan masih menganugerahkan napas kehidupan, artinya ada tugas panggilan yang harus kita selesaikan sebelum nantinya berpulang menghadap Dia untuk mempertanggungjawabkan semuanya.

Semakin bertambah usia, hidup kita memang akan semakin meredup–sama seperti kilatan cahaya lilin yang bagian padatnya semakin mencair. Namun, jika kita tetap setia hingga kilau cahaya terakhir hidup menerangi ruangan, tidak ada yang lebih indah daripada menyelesaikan tugas panggilan hidup hingga garis akhir.

Ketika kita berpulang nanti, anak dan cucu akan bersyukur setiap kali mereka mengenang kehidupan kita–hidup yang telah dijalani dengan penuh integritas dan komitmen kepada Sang Pencipta. Telah diakhiri dengan baik dan disempurnakan oleh anugerah Tuhan sendiri.

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” 2 Timotius 4:7

Penulis:
Charlotte Priatna
Disarikan dari buku: “Learning to Stop: Bisakah Kita Berhenti Menjadi Orangtua?”

Bagikan Artikel ini!