Empty Nest vs. Emptiness

“TIDAK ADA YANG PASTI DALAM KEHIDUPAN KECUALI KEMATIAN.”

Tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali satu hal: kematian. Setiap manusia akan meninggal. Anak, orangtua, termasuk pasangan yang amat kita kasihi bisa pergi kapan saja menghadap Tuhan. Semua orang nantinya pasti menghadap Sang Pencipta.

Hubungan yang terjalin bersama pasangan dan anak bisa berlangsung selama puluhan tahun–paling tidak, ada waktu selama kurang lebih 18 tahun bersama anak, sementara waktu bersama suami-istri rata-rata mencapai 25-50 tahun. Anak dibesarkan, kemudian mereka menikah dan membentuk keluarga sendiri. Yang tersisa kini hanya diri sendiri bersama pasangan.

Sejak muda, kita bekerja keras untuk keluarga, khususnya anak. Semua perhatian tercurah pada anak. Keringat dan perjuangan didedikasikan untuk anak. Bahkan banyak orangtua yang menganggap membesarkan anak lebih penting daripada mengembangkan hubungan suami-istri. Ini merupakan pandangan yang keliru. Akibatnya, banyak pasangan yang akhirnya memilih bercerai di usia 55 atau 60 tahun saat anak mulai keluar dari rumah dan punya kehidupan sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi?

Umumnya, para orangtua akan masuk pada fase empty nest saat anak keluar dari rumah. Pada tahap perkembangan middle age–antara usia 40-65 tahun–orangtua akan melalui proses mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan dewasa, bekerja, dan menikah (Santrock, 2017). Fase mengasuh anak selesai. Rumah yang biasanya ramai, anak pulang setiap malam, kini berubah dan mengubah hidup orangtua. Empty nest menjadi emptiness, rasanya “kosong”, membingungkan, dan menyesakkan karena mereka tinggal berdua saja dengan pasangan yang–sayangnya–tidak benar-benar dikenal sepanjang masa pernikahan.

Namun, beberapa pasangan justru memaknai masa empty nest sebagai suatu kebebasan yang memberi peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan saat mereka mengasuh anak, serta memandang fase ini sebagai kesempatan untuk memulai bulan madu kedua (Papalia & Feldman, 2014). Di masa ini, bila mereka berhasil mengembangkan hubungan pernikahan yang intim dan sehat, maka masa kosong ini dapat dilalui dengan kebahagiaan menikmati hidup berdua.

Dalam kaitannya dengan anak-anak, masa ini menjadi peneguhan untuk semua yang telah mereka tanamkan dalam diri anak. Berhasilkah orangtua menanamkan tradisi dan legacy yang baik? Inilah masa “pembuktian” apakah semua ajaran dan didikan yang kita berikan kepada anak-anak benar-benar telah membentuk mereka. Bila selama mereka kecil hingga dewasa kita telah melakukan panggilan kita sebagai orangtua dengan sungguh-sungguh, maka di masa ini kita tinggal melihat hasilnya. Orangtua justru tidak boleh ragu melepas anak kalau mereka sudah benar-benar dibesarkan dengan baik selama ini. Lepaskan anak untuk mengarungi hidupnya sendiri sehingga pasangan senior dapat menikmati sisa hidup berdua dengan berkualitas.

Bagaimana mengubah fase empty nest menjadi masa bulan madu sejati?

Tidak ada kata terlambat. Meski idealnya dapat dimulai bahkan di tahun pertama pernikahan, namun Anda dapat memulainya sekarang bersama pasangan Anda. Ambil waktu khusus berdua setiap kali ulang tahun pernikahan tiba. Isi momen-momen yang ada dengan kegiatan yang mengesankan–tidak harus berlebihan, yang penting menikmati momen. Lakukan setiap hari, setiap tahun. Jadi, sekalipun anak sudah menemukan kehidupannya sendiri, pasangan lansia dapat tetap hidup bahagia bersama pasangan karena cinta yang selalu dipupuk. Kasih Allah akan memampukan kita mengasihi pasangan apa adanya dan menerima segala kekurangannya dalam hidup kita.

“Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kolose 3:14).

“Pernikahan adalah proses panjang puluhan tahun yang juga perlu diisi dengan canda, humor, dan mencoba hal-hal baru.”

Penulis:
Charlotte Priatna
Disarikan dari buku: “Learning to Stop: Bisakah Kita Berhenti Menjadi Orangtua?”

Bagikan Artikel ini!